Tuesday 3 January 2012

Rakyat Mengamuk untuk Bertahan Hidup


Chairul Huda, lahir di Tangerang 28 Oktober 1970, menyelesaikan pendidikan doktor ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada 2004. Saat ini menjabat Ketua Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta dan Direktur Eksekutif Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia sejak 2005. Selain itu, semenjak 2009 menjadi penasihat ahli Kapolri dalam bidang hukum mulai 2009 hingga sekarang.



Menurut Huda, amuk masa yang terjadi sekarang ini memang merupakan akumulasi dari banyak persoalan yang tak terselesai kan. Soal sengketa tanah misalnya, janji terakhir Presiden Susilo Bambang Yudhoyo no yang akan membagikan tanah seluas sem bil an juta hektar tanah kepada rakyat juga ti dak terbukti. Ketiadaan janji ini semakin me lebarkan rasa frustasi rakyat yang memang pada hari ini tak lagi punya pijakan tanah untuk berlindung. Pada sisi lain, ba nyaknya amuk masa yang terus terjadi dari dahulu hingga seka -rang juga secara diam-diam menunjukkan bahwa klaim bangsa Indonesia adalah bang -sa yang ramah tamah itu hanya mitos belaka. “Masyarakat kecil tetap saja belum mendapatkan keberpihakan yang jelas. Akibatnya, sikap main pintas dan main hakim sendiri menjadi suatu pilihan,” katanya.





Mengapa rakyat belakangan ini suka mengamuk? Apa yang sebenarnya tengah terjadi dengan rakyat kita sampai gampang berbuat seperti ini?
Penyebabnya multifaktor, ada persoalan eksternal dan internal. Secara internal, menyangkut sifat masyarakat yang sering dikatakan tepo sliro dan ramah tamah itu ternyata cuma mitos. Selama ini, sekian tahun kita dibohongi para budayawan bahwa hal mulia itu yang ternyata mitos. Ini karena memang boleh jadi bangsa Indonesia punya watak kekerasan.



Nah, adanya gen kekerasan ini kemudian juga dipengaruhi oleh faktor eksternalnya. Kehidupan semakin tidak mudah mana cara-cara yang ‘benar’ tidak selalu menguntungkan bagi mereka. Maka, orang pun mengambil jalan pintas. Ini ditambah dengan demokrasi yang kerap kali melampaui batas serta adanya tampilan aksi kekerasan yang setiap hari disuguhkan masyarakat melalui media komunikasi, maka jelas akan memengaruhi masyarakat Indonesia yang memang sudah dari dasarnya punya watak keras itu. 



Jadi, kalau saya melihat munculnya kekerasan belakangan ini adalah sebuah akumulasi dari berbagai persoalan. Untuk itu, jelas tidak boleh hanya dilihat pada bagian ujungnya di mana rakyat demonstrasi, membakar kantor polisi, bahkan saling bunuh. Semua ini adalah hal yang ada di ujungnya saja. Dalam hal ini, pangkal tolak penyebabnya adalah lebih karena pemerintah lalai dalam mengatasi tuntutan reformasi yang seharusnya membawa angin segar bagi rakyat. Masyarakat kecil tetap saja belum mendapatkan keberpihakan yang jelas. Akibatnya, sikap main pintas dan main hakim sendiri menjadi suatu pilihan.



Faktor eksternalnya dari penyebab itu secara lebih konkretnya apa?
Untuk faktor ini pada dasaranya apa yang telah diamanatkan oleh konstitusi belum sepenuhnya terlaksana dalam kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara. Konstitusi mengamantkan negara melindungi segenap bangsa dan seluruh tanah tumpah darah Indonesia.



Tapi, ternyata perlindungan yang ditunggu-tunggu tidak ada. Rakyat haknya tetap terampas, rumahnya disita, dan orannya menjadi korban kejahatan sehingga kemudian muncul keputusasaan yang menyebabkan orang mengambil tindakan melawan hukum. Selain itu, juga adanya faktor kepemimpinan yang lemah dan lamban mengambil keputusan ketika harus mengambil sikap atas sesuatu yang menjadi kebutuhan publik. Ini juga menjadi faktor eksternal yang sangat berpengaruh terhadap berbagai kasus kekerasan yang terjadi di tanah air.




Jadi, amuk masa ini tidak semata-mata karena soal ketidakadilan dan ketimpangan ekonomi?
Kalau itu hanya sebagai pemicu saja. Sebab, akar persoalan yang tidak terselesaikannya itu ada di banyak titik. Soal tanah misalnya. Bayangkan kalau ada orang yang hidup di atas tanah yang hanya sejengkal dua jengkal lalu dengan mudahnya dirampas, maka orang bisa bertindak di luar perkiraan nalar manusia normal, kan? 
Apa yang dilaku kan pemerintah semenjak 1960 (adanya UU Pokok Ag raria) belum membawa dam pak seperti apa yang diharapkan. Masih sering kali tanah meskipun sudah ada sertifikatnya muncul sertifikat baru. Dan, ini dikeluarkan oleh lembaga yang sama. Badan Pertanahan (BPN) misalnya sering kali menerbitkan sertifikat tanah ganda atas obyek yang sama. Toh, begitu BPN sampai sekarang tetap tidak pernah merasa bersalah, padahal dengan itu rakyat kemudian berkelahi, baik secara formal di pengadilan maupun secara fisik di lapangan.



Belum lagi banyaknya kasus tumpang tindih hak atas tanah adat dengan hak milik, hak guna usaha, dan hak-hak lainnya, ini juga menjadi soal sangat serius yang menyebabkan timbulnya amuk masa. Sekarang kan terhadap soal tanah ada banyak sekali aturannya, ada Undang-Undang (UU) Agraria, UU Perkebunan, UU Kehutanan, UU Pertambangan, dan banyak lainnya. Celakanya, masing-masing ini kemudian dikomandoi oleh lembaga yang berbeda yang kemudian bisa berakibat melahirkan keputusan yang tumpang tindih. Belum lagi ada soal kewenangan yang ada di lembaga otonomi, misalnya camat, bupati, wali kota, gubernur juga punya kewenangan soal tanah. Ini jelas bermasalah dan kadang malah berdampak membuat gesekan dalam masyarakat. 



Pada sisi lain, apakah ini juga sebagai kegagalan partai politik yang di alam demokrasi seharusnya dapat bertindak sebagai jembatan kepentingan rakyat?
Itu benar. Malah, bisa dikatakan hingga sekarang partai politik tidak eksis di masyarakat. Artinya, partai politik hanya ada sejauh sebagai kendaraaan politik untuk menduduki jabatan di parlemen atau di pemerintahan. Tidak lebih dari itu. Apalagi, jelas wakil rakyat di parlemen sebenarnya juga tidak ada di sana sebab yang ada hanya wakil-wakil partai saja. Jadi artinya, bila ada klaim bahwa partai politik pembawa aspirasi rakyat, pada kenyataannya ternyata hanya omong kosong saja. Yang muncul di partai politik adalah figur perseroangan para elitnya, tidak mencerminkan di sana ada rakyat. Nah, ini menunjukkan partai politik masih tidak bisa menjadi jembatan aspirasi bagi rakyatnya.




Pada kenyataanya jelas terlihat kepapaan rakyat. Betapa mereka sangat sukar mendapat tanah yang hanya sejengkal itu, tapi di bagian lain rakyat juga tahu bahwa ada segelintir orang dan perusahaan yang bisa menguasai tanah hingga jutaan hektar. Apa ini juga menjadi pemicunya?
Ya jelas bisa, ini menjadi pemicu amuk hal yang berasal dari sisi eksternalnya itu. Banyak kemudian terlihat izin pertambangan dan perkebunan memang tidak melihat daya dukung lingkungan yang juga membutuhkan tanah yang luasnya hanya jelas terbatas itu saja. Izin diberikan jor-joran. Akibatnya, lingkungan yang tersedia di daerah tersebut tidak lagi bisa mendukung seluruh kebutuhan masyarakat berkenaan dengan tanah itu. Sehingga, terjadilah gambaran yang sangat mencolok. 



Di satu sisi ada perkebunan yang punya tanah hingga jutaan hektar, tapi di sisi lain rakyat tak punya tanah meski sebatas untuk rumah. Ini kan akibat tidak adanya perhitungan yang seksama mengenai berapa luas tanah untuk tempat tinggal, fasilitas umum, perkebunan, dan pertambangan. Di Kalimantan misalnya, di sana banyak sekali tanah yang diberi status ganda, di atas untuk izin pertanian di bawahnya untuk pertambangan.



Akibatnya, benturannya pengusaha lawan pengusaha. Karena pengusaha, maka tinggal memakai aparat. Tapi, bagaimana kalau benturannya atara pengusaha dan rakyat? Ini dilematis bagi aparat. Di satu sisi aparat harus berpedoman pada legalitas formal bahwa izin itu dipunyai pengusaha, sedangkan rakyat hanya berdasarkan klaim bahwa itu warisan nenek moyangnya. Maka, kemudian terjadi benturan itu sebagai bentuk akumulasi dari persoalan masalah yang sebenarnya sudah ada semenjak lama dan tak kunjung diselesaikan.



Amuk masa terlihat marak pada beberapa bula terakhir ini. Apa Anda melihat ada pihak lain yang bermain?
Susah untuk menyebutya. Tapi, Anda kan melihat di Komisi I DPR kini ada pembahasan mengenai undang-undang mengenai keamanan nasional di mana sebenarnya ada keinginan untuk mengembalikan fungsi teritorial. Saya merasa tentu ini ada suatu prakondisi.



Saya tidak menuduh bahwa ini dilakukan TNI sebab memang tidak mungkin. Tapi, kenyataannya memang kini ada RUU yang nantinya akan ada Dewan Keamanan Nasional, Dewan Keamanan Provinsi, Dewan Keamanan Kabupaten/Kota yang di antaranya ini juga berarti mengembalikan fungsi teritorial zaman dahulu. Ini berarti TNI akan bermain di ranah sipil, yakni keamanan. Nah, ini suatu kondisi yang bisa dikatakan sebagai kebetulan belaka di mana kondisi di beberapa daerah, polisi terus dikecam dan dituding lambat serta terlalu represif. Semua ini menjadi kondisi yang subur untuk menggolkan RUU Keamanan Nasional tersebut.



Sekarang ada potensi ratusan kasus seng keta tanah yang siap meledak. Anda sudah melihat adanya antisipasi konkret dari pemerintah?
Saya belum melihat adanya upaya yang serius dari pihak pemerintah sebagai sebuah konsep yang terencana. Janji Presiden Yuhoyono yang akan membagikan tanah hingga sembilan juta hektare sampai sekarang kan nol atau tak ada realisasi.



Apakah BPN melaksanakan janji presiden ini? Ternyata kan tidak. Jangankan menyelesaikan masalah-masalah sengketa tanah yang jumlah ratusan itu, tetapi janji yang sedikit banyak akan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mendapatkan tanah itu juga tidak diwujudkan. Lalu, tidak salah juga bila rakyat mencari jalan lain. Orang untuk bertahan kan segala cara akan dilakukan.




Sebagai penasihat kepolisian, bagaimana Anda melihat amuk masa ini? Apakah Anda melihat polisi kini hanya dipakai sekadar layakanya “pemadam kebakaran”?
Bagi saya, rakyat berpandangan polisi represif, disalahkan, atau sebagai pemadam kebakaran, itu biasa. Yang saya sayangkan kalau itu dilakukan oleh kaum elite. Ini yang tidak masuk akal. Elite itu—bisa politikus atau intelektual —pasti tahu apa sebenarnya sebab persoalan ini hingga banyak dimensinya.



Namun, saya melihat hal ini juga sebagai risiko tugas yang diemban lembaga kepolisian sebagai pemegang mandat konstitusi untuk menangani masalah keamanan. Sehingga, kalau polisi dikatakan “si tanduk runcing”, yang berarti siapa yang terluka polisi yang dilasahkan, itu hal yang wajar sepanjang menjalankan tugasnya sesuai konstitusi dan perundangan yang berlaku. Cuma persoalannya, memang harus diakui juga, ada juga oknum polisi yang mengambil keuntungan hal-hal ekonomi dari adanya keruwetan itu. Inilah yang saya tekankan kepada Kapolri untuk bisa menindak agar keputusan yang nanti lahir semata-mata hanya merupakan keputusan institusional dan bukan persoalan personal.



Dalam mengatasi kasus Bima misalnya, sebentar lagi mungkin akan ada tindakan kepada sejumlah personel polisi yang nyata-nyata bertindak secara individual di luar komando yang diberikan. Misalnya, ketahuan ada orang yang sudah jatuh, tapi dia masih dipopor juga. Nah, ini kan persoalan personal. Inilah yang harus ditindak.



Secara institusional, Polri adalah pemegang mandat pelaksana keamanan menurut konstitusi. Jadi, apa yang terjadi adalah risiko. Untuk menjawabnya, hanya satu, yaitu dengan profesionalitas yang memang menurut saya belum seperti yang diharapkan. Tetapi ke depan, profesionalitas ini harus lebih ditingkatkan. Misalnya, bagaimana cara menangani aksi unjuk rasa dan aksi anarkis. Nah, ini tentu prosedur tetapnya (protapnya) berbeda dan tidak boleh satu. Tentu juga ada ukuran-ukuran yang membedakannya. Ini berakibat di lapangan tidak boleh hanya berdasarkan diskresi dari pimpinan wilayah yang ada di lapangan.



Semua harus merupakan langkah yang terukur. Ini misalnya bagaimana penggunaan senjata api. Masyarakat kan masih belum tahu menurut standar PBB tidak lagi diperbolehkan peluru karet karena malah merusak jaringan tubuh sehingga lebih aman menggunakan peluru tajam. Nah, soalnya kemudian bagaimana peluru tajam itu digunakan. Ini semua harus ada langkah yang bisa diukur. Sebab, di sisi lain publik pun harus tahu langkahlangkah apa yang akan diambil polisi ketika menangani gangguan keamanan.



Kalau amuk masa tidak bisa segera diredam, apakah negara kita bisa masuk ke dalam lingkaran kekerasan?
Boleh jadi, hal itu akan terjadi bila tidak segera diatasi. Yang paling pasti, semua itu harus diselesaikan secara komprehensif. Pemerintah tidak hanya membikin tim gabungan pencari fakta setelah peristiwa terjadi. Apalagi, akar masalah kan sebenarnya bisa dipetakan. Ini pun ada kendalanya dengan kenyataan acap kali antara pemerintah pusat dan daerah juga ada hal yang tidak sinkron. Pada soal kerusuhan Bima misalnya, mana sikap DPRD-nya? Mereka tetap tidak mempersoalkan pemberian izin pertambangan itu.



Padahal, seharusnya di sanalah penyelesainnya. Jadi, mau teriak seperti apa presiden dari Jakarta, kalau pemimpin daerahnya berbeda partai dengannya, juga tidak bisa berjalan. Itulah kenyataannya sekarang antara presiden sebagai eksekutif dengan gubernur dan wa likota tidak menjadi satu kesatuan. Se karang, tidak ada urusan atasan bawahan karena semuanya dipilih rakyat. 



Kalau begitu, sebetulnya tetap ada peluang untuk memutus warisan budaya amuk itu?
Kalau masyarakat kita sederhana saja. Sepanjang kebutuhan dasarnya tercukupi, maka tidak akan berulah seperti sekarang ini. Persoalannya kini untuk memuhi kebutuhan dasarnya saja sudah sulit. Katanya Indonesia adalah tanah airnya, tapi banyak rakyat yang tak punya tanah dan air pun beli. Begitu juga katanya negara adil dan makmur, tapi faktanya rakyat banyak yang hanya pu -nya rumah dan sumur. Inilah yang harus dipikirkan pemerintah yang tidak hanya mengejar pertumbuhan ekonomi saja, tapi harus melihat sedikit apakah semua klaim itu benar-benar menggambarkan situasi sebenarnya yang ada di dalam masyarakat.
Jadi, masih tetap ada cahaya terang di ujung lorong. Kita ke depan membutuhkan pemimpin yang kuat, sistem yang baik tidak seperti sekarang, dan kesadaran dari seluruh rakyat kita untuk mendukung hal-hal seperti itu.  


No comments:

Image and video hosting by TinyPic