Thursday 12 January 2012

DPR Ber"ikan-ikan" Ria (Akuarium Politik)

Jakarta - Wakil rakyat asyik baku-sedu. Berandai-andai sebagai ikan. Rakyat sebagai pemilik akuarium jadi geram. Adakah memang harus begitu sikap pemimpin menyikapi maraknya bencana, pembunuhan berbau SARA di berbagai daerah, ekonomi yang kian dikuasai asing serta meredam tangis si miskin? Ini betul-betul otak udang.

Adalah Sutan Bathoegana yang memulai 'menjual' ikan salmon. Politisi dari Partai Demokrat itu mengarahkan pada politisi Partai Golkar dan PKS. Sikap mereka yang selalu mengkritisi SBY dianggap sebagai intelektual kagetan yang asal ngomong.


Disebut ikan salmon, Bambang Soesatyo dari Partai Golkar tidak terima. Dia ganti menyebut Sutan Bathoegana sebagai ikan teri asin. Disusul Nasir Jamil dari PKS mengatai Sutan dan Partai Demokrat sebagai ikan piranha yang ganas. Dan ini diikuti munculnya ikan tongkol serta ikan paus dari Martin Hutabarat Partai Gerindra.

Jumpalitan ikan itu menenggelamkan tragedi sengketa tanah Mesuji dan Bima yang belum rampung. Kasus ini mengendap untuk kelak kembali bergejolak. Juga Papua dan Aceh dengan korbannya selalu orang Jawa. Semua itu kalau digeneralisasi berakar dendam. Dendam menebar di berbagai daerah yang tinggal menunggu waktu meledak bersama-sama.

Aceh patut diduga bagian dari luka lama. Ketika diberlakukan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM), rasa sakit itu tak akan sembuh jika dibiarkan. Ini akan terus berlarut jika pendekatan penanganannya hanya sekadar dilihat sebagai tindak kriminal murni.

Dendam yang belum disembuhkan itu kini tertabung lagi dendam baru. Kasus Mesuji, Bima, dan sandal jepit polisi adalah bagian dari tabungan dendam itu. Ditambah dengan maraknya pejabat korup yang 'terayomi', maka dendam itu lengkap sudah.

Darah rakyat telah mendidih. Rakyat merasa didzolimi. Rakyat merasa hanya sebagai alat justifikasi sebagai pemberi amanah. Tidak diperjuangkan haknya. Tidak dilindungi kepentingannya. Tidak diperdulikan kesejahteraannya. Dan pantas jika rakyat menuntut dengan cara-cara rakyat. Lawan!

Perlawanan rakyat yang kian tidak percaya dengan pemimpinnya itu kian hari kian menggurita. Itu karena hidup mereka 'ditelantarkan' negara. Pemerintah lebih pro asing ketimbang rakyatnya sendiri. Keresahan itu sudah di ubun-ubun. Kidung Ronggowarsito 'pasar ilang kumandange, kedung ilang sumbere' menuju pembenaran. Ya, pasar telah dikuasai supermarket asing, dan isi bumi negeri ini sebagian besar sudah tidak kita punya lagi.

Di tengah himpitan rasa resah bersamaan amuk alam membahana itu, ternyata petinggi partai enak saja bercanda. Demi diri dan partainya, tidak malu dengan jabatannya sebagai wakil rakyat. Saling sindir, melempar kritik antar-mereka via idiom binatang dianggap sebagai resep mujarab menutup tragedi yang menimpa rakyat. Adakah itu ekspresi tak sengaja sebagai satwa yang harus saling memangsa?

Di saat-saat petinggi partai politik itu saling serang dengan mengidentifikasi diri sebagai ikan, kebetulan saya sedang berasyik-masyuk dengan kolam yang saya taburi berbagai jenis ikan. Dari lele yang rakus makan, patin yang jika stres acap menghirup udara, gurame yang kalem dan malu-malu, bawal yang selalu happy dan acuh beibe, nila yang terus meminta pasokan oksigen, hingga sidat yang centil, gesit tetapi ganas.

Ikan-ikan yang liar itu saling memangsa kalau dicampur. Tetapi dengan saya, hanya dalam hitungan minggu sudah berakrab-ria. Dia muncul dan mendekat ketika dibawakan pakan. Ikan-ikan itu hanya berpikir makan. Tidak ada yang lain. Mereka memangsa yang bukan jenisnya, dan rebutan pakan sesamanya.

Di pinggir kolam, di tengah ribuan ikan menunggu diberi pakan saya berpikir, adakah pakan itu pula yang ditunggu ikan-ikan yang kini memenuhi Senayan itu? Tapi pakan apa ya kalau ikan seperti itu? Adakah karena pakan itu pula hingga rakyat jelata yang tidak mampu memberi pakan tidak penting untuk didekati dan diperjuangkan nasibnya?

*) Djoko Suud Sukahar adalah pemerhati sosial budaya. Penulis tinggal di Jakarta.

No comments:

Image and video hosting by TinyPic