Sunday 1 January 2012

Menurunnya Aksi Mahasiswa Pro Rakyat

INSIDEN celana dalam dan pembalut wanita untuk Institut Teknologi Bandung (ITB) boleh jadi merupakan hal paling langka yang membuat geger dunia pergerakan mahasiswa di Bandung.

Pembalut dan celana dalam wanita untuk ketua DPRD, kepala kejaksaan, atau pejabat korup, mungkin sudah biasa. Tapi, pembalut dan celana dalam ini dari mahasiswa untuk mahasiswa. Ada apa dengan pergerakan mahasiswa? Ada apa dengan ITB?

“Pergerakan mahasiswa sekarang sudah surut,”ujar aktivis tahun 80-an yang juga Ketua Forum Aktivis Bandung Radar Tri Baskoro.

Menurut dia, kebanyakan mahasiswa zaman sekarang kurang peduli dengan masalah di sekitarnya, tidak sensitif terhadap nasib si miskin, cuek dengan petani dan buruh.

Dia menjelaskan, ada empat faktor utama mengapa mahasiswa bersikap apatis yang berujung pada mandulnya pergerakan. Pertama, tuntutan akademik dari dosen terlalu berat, sehingga waktu tersita untuk kuliah dan otomatis melupakan tugasnya sebagai agent of change. “Mahasiswa lebih banyak menghabiskan waktu di kampus. Saya dengar di ITB sekarang empat atau lima tahun harus sudah lulus,” katanya.
Kedua, interaksi dengan masyarakat bawah semakin kecil, ditandai dihapuskannya Kuliah Kerja Nyata (KKN) di ITB dan diikuti beberapa kampus lain. “Persentuhan mahasiswa dengan masyarakat semakin terbatas,” ucap Radar.

Ketiga, organisasi mahasiswa, baik internal maupun eksternal kampus sudah terkooptasi oleh kepentingan partai politik yang lebih sering tidak sejalan dengan kepentingan rakyat. Dia mencontohkan HMI, GMNI, atau KAMMI yang berafiliasi dengan partai politik tertentu seperti Golkar, PDIP, dan PKS. “Mahasiswa kehilangan independensinya,” kata jebolan Universitas Padjadjaran (Unpad) itu.

Keempat adalah adanya upaya sistematis dari birokrat kampus untuk membuat mahasiswa menjadi figur yang apolitis. “Dalam hal ini kampus lain lebih fleksibel, tapi tidak dengan ITB,” kata Radar.

Sepakat dengan ratusan mahasiswa yang memberikan “hadiah” untuk Tizar, dia menilai kampus ITB telah berubah dari kampus pergerakan menjadi kampus eksklusif yang berisi orang-orang kaya. “Seiring dengan mahalnya biaya pendidikan di sana, ITB hanya diisi mahasiswa golongan atas,” ujarnya.

Menurut dia, pergerakan mahasiswa surut hampir di semua perguruan tinggi di seluruh Indonesia. Padahal, agenda reformasi belum ada yang berhasil meski telah gonta-ganti presiden.

“Keliru kalau mahasiswa kemudian memilih mundur. Tidak ada perubahan yang terjadi, celakanya (ketiadaan perubahan itu) tidak disadari mahasiswa elite, tapi hanya segelintir mahasiswa miskin,” ungkap Radar.

Pergerakan mahasiswa surut hampir di semua lini. Menariknya kini yang tampil bukan perguruan tinggi negeri, melainkan perguruan tinggi swasta. Ada pergeseran pergerakan mahasiswa. “Saya kira eranya ITB sudah berakhir. Unpad masih ada, tapi hanya sisa-sisa dan menjadi penonton bersama UPI. Kini yang muncul adalah perguruan tinggi swasta seperti Unpas, Unisba, dan lainnya,” jelasnya.

Fenomena ini terjadi karena perguruan tinggi swasta jauh lebih heterogen dibandingkan perguruan tinggi negeri. Sejak era otonomi kampus dan banyak jalur khusus dibuka, biaya kuliah di PTN menjadi lebih mahal dibanding PTS. Kini sulit mendapati mahasiswa miskin di PTN dibandingkan mencari di PTS. Para agen mandul di kampus negeri itu kemudian makin terpinggirkan dari lingkaran perubahan sosial.

Lalu, kapan pergerakan di kampus negeri bangkit kembali seperti tahun 1998, 1974, 1978, dan masa-masa sebelumnya? “Akan bangkit kembali, tapi masih ada di pinggir, kecil, dan tidak terlihat oleh pergerakan perguruan tinggi swasta,” kata Radar.

Namun, dia yakin perubahan itu akan datang. Dia tidak bisa menyebutkan kapan, tapi memberikan perumpamaan sederhana. “Bagaikan ibu yang sedang hamil tua, tinggal menunggu waktu, maka bayi revolusi akan lahir,” ucapnya. 


No comments:

Image and video hosting by TinyPic