Thursday 5 January 2012

Adakah yang mendengar kami?


Sebuah desa di pedalaman Nagan Raya, Aceh. Ada yang aneh di daerah ini. Mulai dari pemerintahan hingga berbagai masalah sosial lainnya.

Sebut saja Ijal. Usianya baru 14 tahun. Tapi, jangan harap kita bisa melihatnya menggunakan seragam putih biru untuk berangkat sekolah. Setiap pagi, disaat anak-anak seusianya berangkat sekolah, ia hanya menenteng sebuah parang untuk ke kebun.

Tidak sendirian. Kedua adiknya, juga ikut bersamanya. Bereka bertiga menuju kebun walau hanya sebatas membersihkan kebun. Siang harinya mereka kembali ke rumah untuk makan siang. Lalu kembali lagi ke kebun dan sore harinya mereka bermain bersama teman-teman seusianya hingga larut malam.

Besok harinya, rutinitas ini terus dilakukan ntah sampai kapan.

Mengapa Ijal dan kedua adiknya tidak sekolah?

Ibunya (Sebut saja Ibu nah) bercerita, sambil mengeluarkan air mata, sejak suaminya diambil orang, ia tidak mampu lagi membiayai kedua anaknya itu.


Suatu malam, dipertengahan tahun 2005, tiba-tiba rumahnya diketuk. Tidak ada rasa curiga, sang suami membuka pintu. Ternyata diluar, sudah ada beberapa orang yang tidak mereka kenal. Tanpa sempat mencium anak-anaknya, tanpa sempat berpamitan, suaminya itu langsung dibawa pergi. Entah kemana.

“Hingga saat ini saya tidak tahu dimana gerangan suami saya,” kata Ibu Nah.

Namun, berdasarkan pengalaman, jika hilang pada masa konflik lalu, maka tidak akan pernah pulang alias telah meninggal. Begitulah nasib yang dialami Ibu Nah.

Sejak itu, ia harus ke kebun menanam apa saja yang bisa ditanam untuk menutupi kehidupannya. Anak-anaknya masih sempat bersekolah saat itu. Dua tahun berselang, Ibu Nah menyerah. Dia tidak sanggup lagi membiayai anak-anaknya sekolah.

Karena itu, kini, ketiga anaknya tidak lagi bersekolah. Dan kita jangan terkejut, jika melihat anak Ibu Nah merokok. Karena, mereka mencari uang sendiri, dan menghilangkan “kesunyian” dengan merokok.

Akan tetapi, disaat Aceh berlimpah bantuan, dan disaat Aceh damai, disaat keuangan Aceh mencapai triliunan rupiah setiap tahunnya, Ibu Nah nyaris tidak mendapatkan sedikitpun. Jangankan bantuan, beasiswa bagi anak-anaknya pun tidak dapat. Padahal, saat ini, berapa beasiswa yang disalurkan Pemerintah Aceh? Berapa SILPA (Sisa anggaran yang tidak terpakai tiap tahunnya).
Salah seorang anggota dewan pernah berpendapat : Masalah Silpa harus benar-benar ditelusuri dalam APBA Aceh setiap tahunnya. Pasalnya, sejak tahun 2006 ada kecenderungan bahwa dana Silpa sengaja dipertahankan mengendap di bank dengan maksud dan tujuan yang hingga saat ini masih misterius. Hal ini disebabkan karena Silpa tahun sebelumnya, misalnya silpa tahun 2009, belum dapat dihitung pada pembahasan anggaran 2009. Sehingga silpa yang dimaksud adalah silpa akumulasi tahun 2008. Akibatnya, uang Silpa tersebut mengendap sekian lama di bank.

Salah satu berita media :
Pemerintah Aceh berencana menggunakan Sisa Lebih Penghitungan Anggaran (Silpa) tahun 2006 hingga 2008 senilai Rp2 triliun untuk dana abadi pendidikan. Kebijakan itu guna mengatasi Permasalahan pendidikan di Aceh. (Serambinews, tahun 2010).

Selain itu, berapa anggaran dana pendidikan, berapa dana di Dinas Sosial, berapa besaranya dana di Bank Aceh? Berapa besarnya dana daerah yang terpakai untuk klub-klub sepakbola di negeri ini?

Tapi kondisi Ibu Nah dengan anak-anaknya?

Ibu Nah harus tetap berjuang sendiri. Benar-benar sendiri.

Di Aceh Timur. Istri mantan Kombatan, bahkan harus bekerja di kebun dan sawah milik orang lain karena dirinya tidak memiliki lahan. Dan berjualan di luar pagar sebuah sekolah. Bila musim libur tiba, bila musim kemarau tiba, apa yang harus dikerjakannya. Tentu hanya menangis.

Suatu hari, saat kaki ini melangkah kerumahnya, anak terkecilnya, menitikkan airmata. Badan kurusnya terguncang oleh sebuah “rasa” yang tidak dapat kita masuki kecuali kita juga memiliki “rasa” seperti yang ia rasakan.

Lalu, dimanakah kekayaan negeri ini?

Kekayaan negeri ini habis entah kemana. Lihatlah kasus-kasus penyalahgunaan keuangan yang mencapai ratusan miliar, proyek-proyek gagal yang “disengaja”, penggunaan dana otsus yang sebagian besar nyaris berantakan, hingga ribuan penyalahgunaan proyek anggaran keuangan yang ditemui Panitia Khusus (Pansus) DPR yang hingga kini tidak pernah ditindaklanjuti.

Semua “berteriak” tapi tidak ada yang peduli. Atau, apa yang dikatakan Anwar Nasution benar. “Pejabat di negeri ini masih bermental jajahan dan berperilaku lembu?”

Suatu hari, seorang mantan kombatan menangis. “Bagaimana bang, dulu kami berjuang bersama, lapar bersama, haus bersama tapi kini semuanya melupakan kami,” kata kombatan itu.

Saya sudah berkali-kali datang minta bantuan dana untuk wirausaha juga tidak ada. “Sekarang saya bekerja sebagai tukang batu bata untuk ngumpulin uang biar bisa buka usaha ternak ayam,” katanya.

Tapi, dua bulan setelah itu, dirinya pun menghilang entah kemana. Semua teman-teman seperjuangan yang bekerja sebagai tukang batu bata pun menghilang. Benarkah mereka pergi meninggalkan negeri ini dengan Air mata dan kekecewaan?

Akan tetapi, pasca damai Aceh, bukti nyata telah ada didepan mata kita. Pembunuhan, perampokan, kejahatan menggunakan senjata api hingga kini masih terjadi.
Salah siapa?

No comments:

Image and video hosting by TinyPic