Tuesday 17 January 2012

Ahmad Arif Ginting
Mantan Pengurus Pusat Ikatan Mahasiswa dan Pemuda Aceh (Imapa) Jakarta
MENJELANG pemilihan kepala daerah bulan depan, Aceh dikejutkan dengan aksi pelemparan granat dua kali berturut-turut pada 29 November 2011 dan 1 Desember 2011. 
Granat pertama jatuh tepat di halaman kantor tim sukses kandidat incumbent dan yang kedua tak jauh dari lokasi tersebut dan memakan tiga korban luka-luka. 
Kasus terakhir adalah penembakan yang beberapa di antaranya mengorbankan sipil dari etnis tertentu. Apa pun tujuannya, ini adalah sebuah bentuk provokasi yang serius dan telah menimbulkan berbagai kekhawatiran dan keresahan. Keresahan tidak hanya dialami para buruh pendatang yang menjadi sasaran pembunuhan tersebut, tetapi juga menimbulkan rasa ketakutan sebagian besar masyarakat Aceh. 
Betapa tidak, sejak pembunuhan dilakukan di Aceh Timur, kemudian di Aceh Utara, Bireuen, Banda Aceh, dan terakhir di Aneuk Galong Aceh Besar telah menebar suatu ketakutan. Serangkaian kasus kekerasan tersebut mengingatkan kembali pada saat konflik Aceh di masa lalu. Kondisi ini juga telah mengusik rasa damai yang sedang dinikmati rakyat setelah 30 tahun dalam keadaan ketakutan dan kecemasan, apalagi ketika dikaitkan dengan kegiatan gerilyawan.
Dari beberapa kasus pembunuhan tersebut, hampir semua mempunyai pola yang sama, yaitu menggunakan senjata api, baik laras panjang dan laras pendek. Pola eksekusi pun hampir sama, yaitu melakukan penembakan yang bukan saja bertujuan melumpuhkan, melainkan juga bertujuan mematikan. Artinya, upaya melakukan pembunuhan ini telah direncanakan dengan sangat matang dan profesional. 
Hal ini terlihat dari pola memilih sasaran dan tempat, proses eksekusi dengan cepat dan proses melarikan diri dengan sangat rapi. Sebaliknya, kita tidak tahu persis apa yang menjadi motif pembunuhan berantai ini. Benarkan hanya karena kecemburuan sosial seperti dikatakan pihak kepolisian? Ataukah ini ada unsur konspirasi politik. 
Sensasi Politik 
Sensasi bukan hanya milik dunia selebritas. Panggung politik pun sering menyuguhkan sensasi yang membuat rakyat tertawa, sedih, simpati, bahkan marah. Berbeda dengan sensasi para artis, sensasi politik memiliki spektrum yang lebih luas. Pada satu waktu boleh jadi rakyat dibuat marah dan bingung pada sensasi yang dibuat oleh aktor-aktor politik. Di waktu lain aktor-aktor politik dapat membuat rakyat sedih terharu, bahkan bersimpati. 
Selain memiliki spektrum yang luas, bentuk-bentuk sensasi politik pun banyak sehingga sering membius publik, sehingga mengecohkan dan melupakan kenyataan yang ada di depan mata. Terkadang sensasi politik muncul dengan wajah yang begitu mengerikan, konspiratif, dan sering memakan korban. 
Meskipun beberapa organisasi kemasyarakatan (ormas) telah mengutuk pelaku pembunuhan berantai ini, pihak kepolisian harus mampu membuktikan kepada masyarakat untuk dapat menangkap dan membongkar semua jaringan para pembunuh tersebut. Sehingga masyarakat tidak menyimpulkan dalam pemahaman yang berbeda satu sama lain terkait dengan motif pembunuhan tersebut. Tantangan ini juga untuk membuktikan sejauh mana kemampuan kepolisian Indonesia dalam mengungkap kasus tersebut sehingga tidak terus "mewabah."
Sebenarnya ada banyak pertanyaan yang muncul terkait dengan belum terungkapnya pelaku dan jaringan pelaku pembunuhan ini. Karena dalam beberapa kasus terorisme di Indonesia, pihak kepolisian begitu cepat menangkap para teroris, seperti dalam kasus Jalin Jantho, kasus Solo, dan lainnya. Namun, mengapa dalam kasus pembunuhan berantai di Aceh ini pihak kepolisian seperti tidak berdaya menghentikan kasus demi kasus terus terjadi. 
Ketidakberdayaan ini juga membuktikan masih lemahnya jaringan dan daya intelijen Indonesia dalam memantau berbagai kasus kriminalitas. Dalam konteks ini, dukungan masyarakat untuk memberikan informasi jika ada kelompok yang mencurigakan kepada pihak kepolisian sangat dibutuhkan. Dan polisi juga semestinya harus bergerak cepat jika ada laporan mencurigakan dari masyarakat. Jangan sampai ada istilah tidak ada logistik (bensin, red) mobil operasional untuk menuju lokasi jika ada laporan dari masyarakat. 
Selain itu, peningkatan peran dan hubungan antara kepolisian dan masyarakat dalam konteks polisi masyarakat (polmas) perlu ditingkatkan dalam bentuk yang lebih riil. Artinya, jangan sekadar wacana dan kegiatan-kegiatan trainning lainnya, tetapi harus diaplikasikan dalam kegiatan di lapangan. Masyarakat harus mampu menjadi agen pihak kepolisian dalam mencengah timbulkan berbagai tindak kejahatan di dalam masyarakat.
Perang Bodoh 
Rangkaian teror di Aceh tersebut memenuhi syarat untuk disebut sebagai "bulsi" penimbulan atau penciptaan situasi. Yaitu upaya menciptakan suatu kondisi melalui peristiwa-peristiwa besar atau kecil demi tujuan tersembunyi yang akan menguntungkan kelompok politik tertentu.
Sayangnya disadari atau tidak kedua jenis teror ini dapat menimbulkan efek yang sama yaitu "perang bodoh" akan kembali berkecamuk di Aceh. Melihat situasi hari ini, siapa pun dapat memaknai dengan jelas bahwa sensasi kekerasan di Aceh sangat terkait dengan kepentingan politik pilkada. 
Kita berharap agar masyarakat tidak terjebak arus propaganda yang bertujuan menakutkan dan mengingatkan kembali masyarakat pada situasi konflik. Apalagi membuat kita melemparkan tuduhan ke sembarang pihak. Dalam konteks pilkada, pertarungan politik adalah hal lumrah, selama tidak ada kekerasan, baik yang sebenarnya ataupun pura-pura. 
Hari pencoblosan yang hanya berlangsung satu hari, jangan kemudian menimbulkan dampak negatif yang lebih lama dari pilkada itu sendiri. Saya teramat yakin kepolisian sudah memiliki cukup data untuk mengungkap kasus kekerasan di Aceh. Hanya saja Pemerintah Pusat harus memberi jaminan politik yang jelas agar kepolisian lebih mudah melaksanakan tugasnya. 

No comments:

Image and video hosting by TinyPic